Nilai filosofis dalam tradisi budaya jawa

Mengamati Tradisi lama dalam rangka menggali kebudayaan Indonesia khususnya budaya Jawa merupakan usaha yang erat hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. Pembangunan negara yang sifatnya multikompleks memberi tempat kepada bidang mental spiritual. Berbicara mengenai Tradisi adalah identik berbicara tentang kehidupan. Sebagai suatu adat atau kebiasaan, Tradisi sering terungkap dan kita temui dilingkungan kita sehari-hari seperti halnya pada Tradisi Daur Hidup, Tradisi Kalenderial, Tradisi Pekanan dan Tradisi Kultural

Kita boleh bangga bahwasannya bangsa kita, bangsa Indonesia memiliki dokumen-dokumen Tradisi lama sebagai salah satu warisan nenek moyang. Namun demikian kita tidak boleh puas dengan cukup berbangga hati saja terhadap peninggalan yang ada. Di samping menjaga kelestariannya, kita juga harus dapat berbuat sesuatu terhadap peninggalan-peninggalan tersebut dengan melakukan tindakan untuk menggali nilai nilai yang terkandung dalam Tradisi tersebut untuk memberi makna bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini tampaknya sesuai dengan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang. Pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia sekarang adalah pembangunan manusia yang seutuhnya yaitu yang meliputi seluruh aspek baik aspek jasmaniah maupun rohaniahnya, segi material maupun mental-spiritualnya. Namun demikian sering kali orang terpesona pada segi materialnya saja dengan mengorbankan segi mental-spiritualnya sehingga hubungan antara pribadi menjadi tidak seimbang, akibatnya manusia hanya dinilai dari segi fisik, jasmani, atau materialnya saja. oleh karena itu sangat tepat sekali bagi kita untuk menggali kembali nilai nilai filosofis dalam Tradisi Budaya Jawa
            Tradisi budaya Jawa merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin, contohnya tradisi melaksanan acara selamatan dikalangan masyarakat awam dan tradisi di lingkungan Kerajaaan
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Tradisi ?
2.      Bagaimana bentuk Tradisi Budaya Jawa saat ini serta nilai nilai apa yang terkandung didalamnya?
3.      Bagaimana Kesalah pahaman masyarakat terhadap tradisi?
C. Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui deskripsi Tradisi.
2.      Mengetahui bentuk-bentuk Tradisi Budaya Jawa.beserta nilai nilai yang terkandung didalamnya
3.      Mengetahui Kesalah pahaman masyarakat terhadap tradisi
D. Manfaat Pembahasan
Manfaat dari pembahasan ini meliputi manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai nilai filosofis yang terkandung dalam Tradisi Budaya Jawa, sehingga hasil pemahasan ini dapat dijadikan sebagai sumbangan untuk menambah referensi tentang hasil peninggalan sejarah di Indonesia yang berupa adat istiadat/ kebiasaan yang mengandung nilai nilai yang patut untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam menjalani hidup di jaman modern seperti sekarang ini.


BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Nilai
Menurut Schwartz dalam http://rumahbelajarpsikologi.com menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn via http://rumahbelajarpsikologi.com). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
B. Definisi Filosofis
Filosofis berasal dari kata filsafat yang berarti pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
C. Definisi Nilai nilai Filosofis
Nilai nilai filosofis adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidup yang terdapat dalam pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tradisi
Menurut Koentaraningrat (1987:187) mengatakan bahwa tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya disuatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu[1]. Menurut Poerwadarminto dalam KBBI (1996:958) tradisi adalah : (1) adat istiadat, kebiasaan turun temurun ( nenek moyang ) yamg masih dijalankan masyarakat, (2) penilaian atau tanggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Peursen melalui terjemahan Hartoko (1985:11) mengatakan bahwa tradisi itu merupakan pewarisan/ penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, dan pewarisan harta kekayaan. Tradisi budaya Jawa merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin, contohnya tradisi melaksanan acara selamatan dikalangan masyarakat awam dan tradisi di lingkungan Kerajaaan. Tradisi keagamaan adalah suatu kebiasaan dari aktifitas yang berakar dalam kondisi sosial budaya, sehingga terjadi semacam ritinitas, contohnya adalah grebekan, syawalan, dll ( Parkin dalam Marhamah 2000 ).

B. Contoh bentuk-bentuk Tradisi Budaya Jawa.
1. Slametan.
Slametanberasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).
Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak).
Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat[2].
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama —sebagai wujud kebersamaan—, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat). Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng (selamat). Bahkan, Orde Baru —yang syarat dengan tradisi Jawa—, menginterpretasikan konsep ini dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan ketertiban, in order condition, dengan dalih keselamatan bangsa[3].


Praktik Ritual Slametan; Beberapa Kasus
Dalam makalah ini akan ditampilkan beragam ritual slametan, yang menurut penulis merupakan representasi dari slametan yang skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang banyak). Hal ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak.
a. Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan. Tradisi ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan utama.[4] Dalam slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.
Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh). Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut, disiapkansebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan. Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan kluban/ kuluban/uraban/ gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dalam acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga[5].
b.      Brokohan
Saat kelahiran dibeberapa tempat di daerah Jawa diadakan upacara adat brokohan dan sudah menjadi tradisi turun temurun yang masih dilestarikan masyarakat. Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat[6]. Upacara adat seperti ini merupakan warisan kebudayaan nenek moyang khususnya pada zaman Hindu-Budha, sejak masuknya Islam ke Jawa tradisi ini diubah namanya oleh para Wali menjadi brokohan yang di ambil dari bahasa arab ”barokah” yang berarti mengharap berkah dari Tuhan. Upacara brokohan ini memiliki berbagai tujuan yaitu :
1.      Mensyukuri karunia Allah
2.      Memohon agar bayinya mendapat banyak karunia Allah
3.      Terima kasih kerpada seluruh famili dan kerabat
Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah didoakan. Sesajian dikemas dalam besek dan encek, yaitu suatu wadah yang terbuat dari sayatan bambu yang di anyam[7].
Sesajian serta maknanya yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain:
ü  Dhawet cendol gula jawa lambang kesegaran dan kelancaran usaha hidup dan kemanisan hidup dan syukur atas kelahiran bayi
ü  Jenang abang dan putih lambang kemanunggalan ayah ibunya
ü  Sekul ambeng: nasi dicampur lauk pauk jeroan atau iwak sakiris (daging seiris), pecel dicampur lauk ayam matang lambang kekuatan besar lahir batin
ü  Telur ayam kampung mentah sebanyak jumlah neptu lahir lambang pasaran lahir
ü  Kembang setaman, mengandung makna kesucian
ü  Kelapa melambangkan ketahanan fisik
ü  Ingkung melambangkan si bayi yang baru lahir
ü  Beras melambangkan kemakmuran dan kecukupan pangan
ü  Jajanan pasar melambangkan kekayaan[8]
c.       Mantenan
Dalam tradisi Jawa, mantenan atau pernikahan merupakan peristiwa penting, selain kelahiran dan kematian, sehingga ada upacara khusus untuk menyambutnya. Garis besar adat pernikahan Jawa memang sama, misalnya adanya lamaran, siraman, midodareni, panggih, dan sebagainya.
a .Tepangan dantembung
Jaman dulu, pasangan suami isteri dijodohkan oleh orang tuanya; sekarang, cara itu sudah tidak dipakai lagi. Remaja yang telah dewasa, berkenalan, saling mengungkap perasaan, lalu berpacaran (‘jadian’), dalam arti ingin menikah. Untuk menuju jenjang pernikahan, orang tua harus terlibat. Remaja pria, sebaiknya menyampaikan keinginan untuk menikah pada orang tua remaja wanita (dan orang tuanya sendiri, tentu saja), sehingga orang tua remaja wanita merasa dihormati dan tenang jika anaknya, misalnya, diajak pergi.
Tahap berikutnya, adalah orang tua remaja pria tepangan(berkenalan) dengan orang tua remaja wanita; dan menyampaikan maksud hati anaknya untuk ngembun-embun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu  ingin menikahi anak orang tua remaja wanita. Ukarangembun-embun enjing ajejawah sonten”  juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun pagi adalah awun-awun , hujan gerimis sore hari disebut rerabi ; maksudnya nyuwun rabi atau minta menikah[9].
Setelah kedua keluarga sepakat melangsungkan saat hajat pernikahan, dilakukan acara puncak, yaitu mantenan
a)      Pasang Tarub dan blekketepe
Sehari-dua hari sebelum upacara pernikahan, mulai dipasang tarub atau  terob di rumah orang tua wanita. Tarubberarti 1) kajang (anyaman bambu) yang dipasang sebagai atap, 2) berkumpul. Jadi, pasang tarub berarti memasang kajang   tempat tamu berkumpul.  Sekarang, yang dipakai bukan kajang , tetapi tratag dari terpal (kain tebal tahan air). Tarubmerupakan keratabasa ‘ditata dimen murub (ditata agar menyala), maksudnya diatur agar menerangi lingkungan. Dalam Bahasa Arab ta’arub berarti pengumuman atau tanda akan ada hajat. .
Selain itu juga dipasang blekketepe . Blekketepe adalah anyaman daun kelapa tua (bukan janur). Pelepah daun kelapa dibelah dua membujur, lalu dianyam, dipasang di atas pintu depan. Ini menandakan, bahwa keluarga itu akan mempunya hajat mantu.. Pada kiri kanan pintu masuk tarubdipasang tuwuhan(tumbuhan)[10]. Tuwuhan terdiri atas
1. Pisang Raja suluh
Dipakai Pisang Raja suluh(matang) lengkap dengan batang, daun dan setandan buahnya yang matang, besar-besar, jumlah sisirnya genap, sebanyak 2 batang, dipasang di kiri kanan pintu masuk tarub.Pisang raja mengandung harapan agar pasangan yang akan menikah kelak akan mulia dan terhormat seperti raja, dan mempunyai sifat hambeg para marta , mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dipilih pisang yang matang, agar pasangan yang akan menikah memiliki pemikiran dewasa
2. Tebu wulung, dua batang
Tebu ini berwarna wulung(ungu), dan dipakai batang tebu utuh, lengkap dengan daunnya. Tembung(kata) tebu wulung merupakan kerata basa ’Ante ping kalbu wu juding lelung an’ ; maksudnya, pasangan baru itu sudah mantap (antep ) hati (kalbu) untuk mewujudkan (wujud ) perjalanan (lunga) menuju kehidupan yang baru.
3. Cengkir Gading
Cengkir adalah buah kelapa muda, di dalamnya berisi air kelapa yang bersih Ini lambang kesucian dan hasrat membantu sesama.
4. Ron randu lan pari sewuli
Ron randu adalah daun randu, sedang pari sewuli adalah padi seikat. Randu melambangkan sandang (pakaian), dan  par i melambangkan pangan (makanan).Ini mengandung  doa agar pasangan baru itu selalu tercukupi sandang dan pangannya
5. Ron-ronan
Terdiri atas berbagai dedaunan, antara lain ron   salam, maja, alang-alang , apa-apa, kara (kacang-kacangan),kluwih,   dadap srep , ringin Daun apa-apa termasuk kacang-kacangan, anak daunnya tiga.  Di daerah Pasundan disebut hahapaan , di Madura disebut pok-kepokan. Daun salam , maja, alang-alang , dan apa-apa melambangkan “slam et aja ana alang an apa-apa”, atau ‘selalu selamat, tidak ada halangan apa pun’ selama kehidupan pasangan baru itu.
Dipakai juga daun kara  dengan harapan tidak ada sikara(cobaan),  sukreta (siksaan), atau perkara (kesulitan) yang menghalangi kehidupan. Daun kluwih , melambangkan harapan agar pasangan baru itu selalu diberi kaluwihan (kelebihan), baik harta, benda, maupun ilmu, untuk membantu sesama.
Daun dadap srep ; mengandung doa agar pasangan baru diberi sumerep (mengetahui, melihat, pengetahuan) yang baru dan manfaat. Dadap srep juga mengandung arti permohonan agar keluarga pasangan baru selalu asrep atau sejukhidupnya. Ron ringin   (beringin), mengandung doa agar semua pepengin (keinginan)-nya terkabul. Tajuk daun beringin yang rimbun melambangkan pengayoman
6. Janur
Janur adalah daun kelapa muda Keratabasajanur adalah “seja - tine   (sungguh-sungguh) nur (cahaya, sinar)”. Ini berarti, pasangan baru itu,  nantinya benar-benar memancarkan cahaya, memancarkan aura
b)     Siraman
Siraman berasal dari kata siram yang berarti mandi, biasanya siraman dilakukan di kamar mandi, tetapi jika terlalu sempit dapat dilakukan di tempat lain, dengan persiapan seperlunya.
1.      Pecah kendi
Setelah siraman, dilakukan upacara pecah kendi. Ibu pengantin putri (atau juru rias) memecahkan kendi yang berisi toya perwitosarisambil berkata “ Niat ingsun ora mecah kendi, nanging mecah pamore anakku… (nama penganten putri)”. Pecah pamor-e berarti sudah dewasa. Ini melambangkan, ibu sudah siap melepaskan anak gadisnya yang sudah dewasa.
2.      Pangkas dan tanem rikma
Rambut (rikma ) penganten dipotong (pangkas ) sedikit, lalu ditanam di belakang rumah. Ini berarti penganten putri tetap menjadi bagian dari keluarga besar orang tuanya, sekali pun telah berkeluarga sendiri


3.      Gendongan
Kedua orangtua pengantin menggendong anak mereka untuk terakhir kali, dari tempat siraman ke kamar penganten, melambangkan sudah ngentaske anaknya
4.      Midodareni
Midodareni berlangsung di kamar penganten putri, pada malam hari sebelum panggih. Acara midodareni terdiri atas tantingan, dan turunnya kembar mayang.Sementara itu, di luar, berlangsung acara srah-srahan, jonggolan dan wilujengan ini adalah bentuk permohonan keselamatan
5.      Pasrah sanggan
            Pasrah sanggan atau srah-srahan berasal dari kata srah atau serah dan sanggan . Srah-srahan berarti menyerahkan. Sangganberasal dari kata sangga, yang berarti 1) melipat tangan, 2) menjalani (misalnya  hukuman), 3) membiayai; di sini, sanggatukon , dari kata tuku (membeli). Kata tukon di sini, tidak dalam arti membeli, tetapi lebih bersifat ikut membiayai upacara. Uba rampe pasrah sanggan ini diserahkan oleh keluarga pihak kakung pada keluarga pihak putri. Uba rampe srah-srahan terdiri atas:
a.      Kalpika atau cincin, kalau bisa yang penampangnya berbentuk lingkaran (tidak nyigar penjalin , atau setengah lingkaran), dan lingkaran cincinnya utuh, tidak terpotong. Ini melambangkan kasih sayang yang abadi, tidak pernah putus
b.      Ageman putri sakpengadeg atau pakaian wanita lengkap, seperti kebaya, nyamping batik, sepatu, selop, dan sebagainya Ini berarti, suami akan menutupi kekurangan, kelemahan atau aib isterinya
c.       Rerenggan pelik-pelik terdiri atas perhiasan, seperti gelang, kalung, cincin, anting-anting Ini melambangkan, bahwa suami akan menjaga, melindungi, dan merawat cahaya, dan keindahan istrinya
d.      Jadah, wajik, lapis abang putih melambangkan sumsum yang merah dan tulang yang putih, yang saling terikat / kakung dan putri sudah menjadi loro-loroning atunggal
e.      Woh-wohan melambangkan kakung dan putri menginginkan adanya wohing ngurip , atau buah kehidupan, yaitu kebahagiaan dunia akhirat setelah menikah
f.        Suruh temu rose-e lan pisang raja Sirih ini melambangkan, bahwa  pasangan itu sudah bertemu atau menyatu hatinya. Pisang raja, mengandung makna, nantinya pasangan itu menjaga keluhuran dan kesucian budi dan martabat mereka seperti raja
g.      Cengkir Gading melambangkan kesetiaan
h.      Urip-urip berupa sepasang ayam, atau bebek atau angsa sebagai lambang pasangan baru itu akan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya[11]
c)      Pasrah tampi penganten kakung
Pasrah berarti menyerahkan, sedang tampi berarti menerima. Keluarga calon penganten kakung menyerahkan calon penganten kakung pada keluarga calon penganten putri untuk di-ijab kabul-kan. Secara administrasi, status calon penganten kakung harus satu domisili dengan calon penganten putri, sehingga calon penganten kakung harus pindah sementara ke domisili calon penganten putri
d)     Ijab kabul
Nikah adalah persetujuan pria dan wanita untuk bersuami-isteri. Ijab adalah kalimat menikahkan yang diucapkan oleh fihak wali (wakil) penganten putri, kabulberarti ucapan tanda persetujuan dinikahkan, yang dilakukan oleh penganten kakung. Jadi,  ijab kabul adalah proses menikahkan oleh wali penganten putri, yang disetujui oleh penganten kakung.  Akad adalah perjanjian, jadi akad nikah berarti perjanjian untuk menikah
Setelah acara agama ini, dilakukan acara adat, yaitu panggih . Setelah ijab kabul, orang tua penganten kakung, nyanggrah (dari kata sanggrah, istirahat) di rumah kerabat atau tetangga yang dekat. Selama panggih, orang tua penganten kakung (besan), tidak boleh menyaksikan. Tetapi, sekarang, banyak yang melanggar adat ini. Nantinya, pada acara mertuwi.   orang tua penganten kakung akan dijemput untuk mengikuti acara selanjutnya
e)      Liru kembar mayang
Setelah ijab kabul, yang merupakan acara agama, diteruskan dengan acara adat Jawa. Rombongan penganten kakung memasuki rumah penganten putri dan rombongan penganten kakung diterima oleh keluarga penganten putri,
Panggih diawali dengan liru kembar mayang . Liruberarti menukar. Penganten kakung beserta rombongan datang membawa sepasang kembar mayang kakungyang dibawa oleh dua satriya kembar .   Penganten putri beserta rombongan juga membawa sepasang kembar mayang putri   yang dibawa oleh dua putri domas . Ke empat remaja itu saling menukarkan kembar mayang . Ini merupakan lambang, bahwa keluarga kakung menyatu dengan keluarga putri dan sebaliknya. Nantinya, kembar mayang putri dibuang atau dilarung, sedang kembar mayang kakungtetap mengikuti upacara, diletakkan di samping pelaminan. Ini melambangkan, bahwa kakung akan menjadi imam atau pemimpin keluarga[12].


f)       Panggih
Setelah ijab kabul , dan liru kembar mayang , acara berikutnya adalah panggih atau temuatau bertemu. Panggih adalah tanda, bahwa penganten kakung dan putri sudah resmi menjadi garwa atau suami istri sah secara adat Jawa.
g)      Ngunduh mantu
Hakekatnya, mantenan adalah tanggung jawab keluarga putri. Kadang-kadang, pihak kakung (apalagi jika tempat tinggal kedua orang tua berjauhan), ingin mengadakan mantenan juga ; yang  disebut ngunduh manten ataungunduh mantu . Ngunduhberarti mengunduh, atau memetik. Ada juga yang menyebut boyong manten . Tidak ada acara spesifik dalam ngunduh mantu, penganten boleh berpakaian adat Jawa atau model barat[13]
d.      Kematian
Berkenaan dengan kematian ada macam-macam tradisi Jawa yang mempercayai eksistensi roh setelah berpisah dari raga, yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir :
1)      Brobosan, Upacara brobosan diselenggarakan dihalaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Upacara tradisional ini merupakan pengejawantahan sesanti (pepetah) “Mikul dhuwur mendhem jero” ( menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit )[14]
2)      Tigang dinten yaitu tiga hari meninggalnya Almarhum/ mah, Pitong Dinten yaitu tujuh hari meninggalnya Almarhum/ mah, Petang Puluh Dinten yaitu Empat Puluh hari meninggalnya Almarhum/ mah, Nyatos Dinten yaitu seratus hari meninggalnya Almarhum/ mah, Mendhak yaitu setahun dan Dua Tahun meninggalnya Almarhum/ mah, Nyewu yaitu Seribu hari meninggalnya Almarhum/ mah, Kol (Kol kolan) yaitu peringatan setelah Seribu hari dan peringatan ini bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya Almarhum/ mah dan semua acara sebagaimana tersebut diatas dilakukan dengan mengundang tetangga dan kerabat masudnya untuk kirim doa/ mendoakan Almarhum/ ah agar kehidupannya di akhirat selamat dan bahagia dan dilanjutkan dengan shodaqohan yang bertujuan dengan shodaqoh semua hajat keluarga yang ditujukan kepada Almarhum/ ah dapat terkabul.
Contoh simbolisasi dalam kematian adalah : Daun kelor / dadhap srep yang menyertai pemandian mayit, kelor (Lungsur dosa-dosanya), dadhap srep (menghadap dengan tenang), Kelapa Muda : mempunyai arti Toyo wening/ toyo suci (air yang melambangkan keheningan dan kesucian) Payung melambangkan tanda belas kasih cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal, Kembang Setaman bermakna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan juga suatu upaya keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan[15]

c. Kesalah pahaman masyarakat terhadap tradisi
Sebuah acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah hukumnya wajib, sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka atau bencana, hal inilah yang harus kita luruskan kebenarannya sehingga masyarakat nantinya tidak terbebani dengan adanya tradisi tersebut tetapi kita tidak boleh melarangnya (kecuali yang melanggar norma-norma Agama) karena dalam tradisi tersebut menyimpan berbagai makna-makna kebaikan
Perlu diwaspadai juga, seiring derasnya arus globalisasi dan modernisasi, telah berkembang aliran-aliran Islam bahkan aliran tersebut termasuk terbesar di Negara kita yang anti tradisi dan berupaya membabat habis tradisi lokal serta menggantinya dengan tradisi sebagian bangsa Arab modern dengan dalih purifikasi ajaran Islam serta kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun sayang sekali, semangat dan obsesi kelompok tersebut dalam upaya membabat habis tradisi lokal, bukanlah berangkat dari dalil-dalil Al-Qur’an, Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif (mu’tabar), yang selama ini menjadi pedoman mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah diberbagai belahan dunia Islam. Bahkan tidak jarang, semangat dan obsesi gerakan anti tradisi tersebut bertentangan dengan dalil Al-Qur’an, Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif menurut kalangan mereka sendiri











BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian di depan dapat ditarik kesimpulan bahwa jika ditinjau dari perspektif kekinian (kontemporalitas), adalah sebagai berikut :
  1. Tradisi budaya Jawa adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin
  2. Bentuk tradisi budaya saat ini Jika diamati secara detail terkesan sangat njlimet atau rumit. Hal ini dikarenakan banyaknya perlambang yang dipakai di dalamnya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena sampai saat ini masyarakat Jawa masih senang menggunakan simbol atau perlambang dalam kehidupannya.
  3. Sebuah acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah hukumnya wajib, sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka atau bencana, hal inilah yang harus kita luruskan kebenarannya tetapi kita tidak boleh melarangnya (kecuali yang melanggar norma-norma Agama) karena dalam tradisi tersebut menyimpan berbagai makna-makna kebaikan






DAFTAR PUSTAKA

  1. Ach. Nadlif dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, Surabaya: Al Miftah
  2. Ibnu Ismail, Islam Tradisi, Kediri, tetes peblimbing 2011
  3. diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15
  4. diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15
  5. http://sesaji.blogspot.com/2009/01/sesaji-brokohan.html diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15
  6. http://arifyanto1.wordpress.com/2010/11/05/mantenan-kanti-adat-jowo/ diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15
  7. diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15
  8. http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/upacara-perkawinan-tradisional-jawa diakses pada tanggal 29 Desember 2011 Jam 22:15


[1]Ach. Nadlif dan M. Fadlun,Tradisi Keislaman,Surabaya, hlm 1
[2][2] http://kcpkiainnws/2009/06/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-perspektif-ekonomi/
[3]http://promosijoss.blogspot.com
[4]Ach. Nadlif dan M. Fadlun,Tradisi Keislaman,Surabaya, hlm 41
[5]Ibnu Ismail, Islam Tradisi hal 77
[6]Ach. Nadlif dan M. Fadlun,Tradisi Keislaman,Surabaya, hlm 49
[7] http://sesaji.blogspot.com/2009/01/sesaji-brokohan.html
[8]Ibnu Ismail, Islam Tradisi hal 82
[9]http://arifyanto1.wordpress.com/2010/11/05/mantenan-kanti-adat-jowo/
[10]http://promosijoss.blogspot.com
[11]http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/upacara-perkawinan-tradisional-jawa
[12]http://kabudayanjawi.com/article/68648/upacara-pernikahan.html
[13]Ibnu Ismail, Islam Tradisi hal 108
[14]Ibid hal 109
[15]Ibid hal 110

0 Response to "Nilai filosofis dalam tradisi budaya jawa"

Posting Komentar