Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW

Bebenet | Berikut ini adalah keterangan ulama mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain : 
1.      Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” [1].

2.      Ibnu Mulaqqan mengatakan :
Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).[2]

3.      Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim  seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.[3]  Pembagian model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim.[4]
4.      Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. [5]

5.      Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau  mengatakan :
Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”[6] 

6.      Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori  baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji)[7]

7.      Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang)  mengatakan :
Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar.[8]




[1] . Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[2] Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
[3]. Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
[4] An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
[5] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
[6] Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
[7] Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
[8] Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290

0 Response to "Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW"

Posting Komentar