Pada era sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat dakwah pesantren atau pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok kemungkinan berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya penginapan atau asrama.
Sedangkan kata pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier menyebutkan, pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Menurut John sebagaimana yang dikutip Dhofier mengatakan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji,[1] tidak jauh beda dengan John, Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shantri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shantri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari asal-usul kata santri pula banyak sarjana berpendapat bahwa lembaga pesantren pada dasarnya ialah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa penganut agama Hindu Buddha yang bernama “mandala” yang di Islamkan oleh para kyai.[2]
Terlepas dari asal-usul sebagaimana tersebut diatas, yang jelas ciri-ciri pesantren secara keseluruhan adalah sebuah lembaga dakwah atau pendidikan Islam yang Asli Indonesia, yang saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang. Bahkan pada saat memasuki milennium ke tiga ini menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.
Sistem pengajaran atau dakwahnya pesantren pada masa itu menggunakan sistem sorogan, bandongan dan wetonan. Sorogan adalah metode belajar dengan santri satu per satu maju menghadap kyai atau ustadz untuk membacakan suatu kitab tertentu, kyai atau ustadz menyimak dan membetulkan jika ada kesalahan dalam membacanya.[3] Adapun Bandongan adalah metode belajar dengan kyai atau ustadz membacakan kitab beserta maknanya dalam bahasa daerah (Jawa) sedangkan para santri menyimak sambil menuliskan makna yang belum diketahuinya.[4] Tidak ada persyaratan khusus siapa saja yang boleh ikut mengaji atau belajar juga tidak ada ujian atau kenaikan kelas karena memang tidak ada kelas. Sedangkan Wetonan adalah metode belajar dengan kyai atau ustadz membacakan kitab hanya dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada bulan Ramadhan.[5] Dalam prakteknya wetonan tidak ada perbedaan dengan bandongan. Ketiga sistem pengajaran ini masih dipertahankan oleh hampir semua pesantren, meski ada sistem klasikal (ada jenjang kelas), kecuali pesantren modern yang lebih menerapkan metode klasikal
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenani Masa Depan Idonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), 41
[2] Ibid
[3] M. Solahudin, viii
[4] Ibid
[5] Ibid, ix
0 Response to "Model atau cara pengajaran pesantren salaf di Indonesia"
Posting Komentar