ARISAN HAJI
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Masailul Fiqhiyah”
FAKULTAS TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI 04A)
INSTITUTE AGAMA ISLAM SUNAN GIRI
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini kami telah menyelesaikan makalah pada mata kuliah Masailul Fiqhiyah dengan judul ”Arisan Haji”. Dalam makalah ini akan di jelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan arisan haji.
Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Ponorogo, Maret 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II: PEMBAHASAN
A. Hukum Arisan Haji Dalam Islam
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah haji merupakan rukun islam ke lima yang wajib di laksanakan oleh umat islam yang mampu sekali seumur hidup. oleh karena itu umat islam yang belum mampu secara finansial baik pembiayaan,kesehatan,keamanan maupun yang lain belum berkewajiban melaksanakan ibadah haji. Semangat yang menggebu-gebu telah mendorong umat islam untuk berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan uang yang kemungkinan untuk biaya haji. Di antara salah satu usaha oleh sebagian umat islam adalah di adakannya arisan haji, hal ini merupakan suatu konsep baru dalam hukum islam yang belum pernah terjadi pada masa Rasullulah. Bagaimana hukumnya akan kami bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Hukum Arisan Haji ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan hukum arisan haji
Arisan haji yaitu suatu akad yang di lakukanoleh beberapa umat islam secara suka rela untuk bersama-sama menabung uang dalam jumlah yang telah disepakati guna membayar Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya Perjalanan Naik Haji (BPIH) dengan perjanjian kurang lebih sebagai berikut:
a. Setiap anggota arisan harus menabung (membayar) uang dalam jumlah yang telah disepakati bersama pada setiap bulannya hingga mencapai jumlah yang cukup untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan oleh pemerintah.
b. Setiap tahun pada saat pendaftaran calon jamaah haji mulai dibuka, para anggota arisan berkumpul guna menghitung jumlah uang yang telah berhasil dikumpulkan.. Setelah diketahui bahwa uang yang berhasil dikumpulkan oleh anggota arisan cukup untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sekian orang anggota arisan, maka dilakukan undian untuk mengetahui siapa saja anggota arisan yang berhak menunaikan ibadah haji di tahun itu dengan biaya yang telah dikumpulkan dari arisan tersebut.
c. Anggota arisan yang telah berhasil memenangkan undian yang dilakukan secara terbuka sesuai dengan cara yang lazim dilakukan dalam undian arisan yang telah disepakati bersama, berhak menunaikan ibadah haji pada tahun itu dari biaya yang telah dikumpulkan tersebut, sekalipun pada hakikatnya uang simpanan si pemenang undian tersebut belum mencapai BPIH yang di tetapkan pemerintah.
d. Selisih jumlah uang yang diterima oleh pemenang undian untuk membayar BPIH dengan jumlah uang tabungan yang disimpannya pada arisan merupakan hutang yang harus dibayarnya secara berangsur-angsur melalui tabungan tiap bulan sampai jumlah hutangnya terlunasi.
e. Selanjutnya pada tahun berikutnya atau pada waktu yang telah disepakati bersama, dilakukan pula undian untuk memberangkatkan anggota berikutnya, sampai secara berangsur angsur seluruh anggota arisan diberangkatkan ke tanah suci guna melaksanakan ibadah haji[1].
Sehubungan dengan maraknya arisan haji, masyarakat mengajukan pertanyaan pada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang hukum arisan haji, seperti disebutkan diatas, maka komisi fatwa MUI menfatwakan sebagai berikut :
1. Ibadah haji hanya diwajibkan bagi umat islam yang benar-benar memiliki kemampuan (istatho’ah) khususnya kemampuan finansial untuk membayar BPIH, biaya hidup selama di tanah suci serta biaya keluarga yang di tinggal selama ibadah haji. Oleh karena itu seorang yang belum memiliki kemampuan tidak boleh memaksakan diri sebagaimana difirmankan dalam surat Al-Imran ayat 97.
Artinya:”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) dari semesta alam[2].
Untuk mempertegas makna istatho’ah para pakar ulama’ telah bersepakat jika belum mempunyai kemampuan (istatho’ah) untuk melaksanakan ibadah haji, walaupun ditawari hadiah BPIH, maka tidak wajib menerima hadiah tersebut. Selain itu, Imam Syafi’i berpendapat bahwa konsep istatho’ah itu termasuk ke dalam 2 aspek:
a. Kemampuan fisik
Dilihat dari kondisi dan perilaku ibadah sendiri dalam optimalisasi fisik dalam melaksanakan ibadah haji. Perbedaan iklim dan jauhnya perjalanan serta tenaga yang ekstra dalam melaksanakan ibadah haji.
b. Kemampuan finansial
Dimaksudkan adalah dari segi kebutuhan biaya primer sebelum perjalanan, ketika di Makkah dan ketika kembali ke tanah suci, serta keluarga yang ditinggalkan selama melaksanakan ibadah haji[3].
2. Arisan haji untuk membayar BPIH dengan tata cara sebagaimana di sebutkan diatas atau yang serupa adalah di larang oleh agama islam, dengan alasan sebagai berikut :
a. Arisan haji dengan pola sebagaimana disebutkan diatas atau sesamanya adalah sama dan tidak berbeda dengan berhutang kepada orang lain sehingga memberatkan diri sendiri untuk atau keluarga yang ditinggalkan jika ia wafat. Padahal Rasulullah SAW melarang seseorang berhutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk membayar BPIH, sebagaimana sabda Beliau yang artinya “Sahabat Thariq berkata: “Saya telah mendengar sahabat yang yang bernama Abdullah Ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang tidak sanggup naik haji, apakah dia boleh meminjam uang untuk ibadah haji? Nabi menjawab: “Tidak!”(HR. Baihaqi).
b. Arisan haji dengan pola sebagaiman di sebutkan di atas atau yang serupa mengandung unsur gharar (kesamaran dan ketidakjelasan) karena tidak ada jaminan setelah naik haji mampu membayar lunas sisa arisan yang menjadi tanggungannya, selain itu bagaimana jika orang yang telah mendapatkan undian arisan haji tertimpa musibah seperti meninggal dunia, atau usahanya bangkrut sehingga tidak mampu membayar sisa arisan haji, apabila dibebaskan, maka akan merugikan pihak lain yang belum memperoleh kesempatan memenangkan undian, atau dibebankan pada keluarga sehingga menimbulkan madharat bagi anggota keluarga yang tidak mengerti tentang arisan haji.
c. Pada hakikatnya, seseorang yang telah berhasil memenangkan undian arisan haji adalah berhutang uang pada anggota yang lainnya. Pinjaman tersebut harus di bayar lunas meskipun secara berangsur angsur sesuai dengan aturan aturan dalam arisan. Jika ia meninggal dunia, maka ia memikul beban yang sangat berat.
3. Seseorang yang menunaikan ibadah haji harur membayar BPIH, memiliki biaya yang cukup selama berada di tanah suci, serta biaya bagi keluarga yang ditinggalkan. Sehingga biaya juga perlu diprioritaskan dalam anggaran haji.
Salah satu falsafah yang dapat diambil dari ibadah haji adalah adanya keharusan untuk menjadikan ibadah haji sebagai manifestasi loyalitas manusia kepada Allah sebelum ia berangkat ke tanah suci Makkah, ketika ia menjalankan ibadah haji dan ketika ia sudah kembali dari tanah Makkah. Di samping itu, di ulang ulangnya kata lillahseperti dalam surat Al Imron ayat 97 dan surat Al Baqoroh ayat 197 juga memberikan isyarat bahwa ibadah haji akan di dominasi oleh motivasi motivasi lain selain lillah, oleh karena itu, Allah sejak dini mungkin memperingatkan pada manusia agar menjalankan haji karena lillah[4].
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa melaksanakan ibadah haji dengan BPIH/ONH yang dihasilkan dari arisan haji sebaiknya tidak dilaksanakan karena konsep istatho’ah yang termaktub dalam Al Qur’an meliputi mampu dalam hal fisik dan mampu dalam hal finansial/ materiil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa melaksanakan ibadah kaji dengan BPIH/ONH yang dihasilkan dari arisan haji sebaiknya tidak dilaksanakan karena konsep istatho’ah yang termaktub dalam Al Qur’an meliputi mampu dalam hal fisik dan mampu dalam hal finansial/ materiil.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Hamdan. 2003. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa Aktual. Jakarta: PT. Al mawardi prima
Yaqub, Mustofa, Ali. 2001. Islam Masa Kini. Jakarta: pustaka firdausi
Asy’ari, Imam. 2003. Paradigma Fiqh Masail. Kediri: MHM lirboyo kediri
Departemen Agama RI. 2007. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV penerbit diponegoro
0 Response to "Makalah Tentang Arisan Haji"
Posting Komentar