Bebenet | Problematika dakwah dari masa ke masa, generasi ke generasi, bahkan dari abad ke abad, tentu sangat variatif. Tiap-tiap masa dan era memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Karena itu, dinamika agama (Islam) di manapun ia berada sangat ditentukan oleh gerakan-gerakan dakwah yang dilakukan oleh umatnya.
Pada zaman modern ini, problematika dakwah dihadang oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin memper-mantap terjadinya globalisasi dalam segala bidang kehidupan.
Dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut bisa berbentuk positif, tapi juga negatif terhadap pelaksanaan dakwah. Segi positifnya antara lain adalah mempermudah penyampaian dakwah melalui jaringan-jaringan alat komunikasi canggih seperti, telepon, telegram, radio, televisi, internet dan selainnya. Segi negatifnya antara lain adalah munculnya gejala mendewakan perangkat-perangkat canggih tersebut, sehingga kegiatan dakwah dalam arti tablīg dengan cara bertatap muka secara langsung akan berkurang frekuensinya.
Fenomena lain menunjukkan bahwa di zaman modern ini, semakin meningkat berbagai jenis kejahatan dan akibatnya adalah semakin terkikis sosialisasi ajaran-ajaran agama di kalangan masyarakat. Contoh kasus; banyak di antara mereka yang terlambat melaksanakan shalat, bahkan ada yang meninggalkan shalat, karena terlena duduk berlama-lama di depan televisi atau internet dan semacamnya. Pada kasus lain, yang banyak menerpa masyarakat sekarang ini adalah terbiusnya mereka dengan obat-obat terlarang, misalnya, miras, ganja, narkoba dan semacamnya.[1]
Dalam upaya mengantisipasi kasus-kasus seperti di atas, maka kegiatan amar ma’rūf dan nahi munkar mutlak dilaksanakan. Dengan kata lain, aktifitas dakwah harus senantiasa digalakkan di tengah-tengah masyarakat, baik bagi kalangan tua lebih-lebih kepada kalangan generasi muda. Tanpa kegiatan dakwah, maka sosialisasi ajaran agama (Islam) akan mandek dan akan mengalami kevakuman. Kaitannya dengan itu, Dr. H. Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa bila dakwah berhenti maka lonceng kematian Islam segera berbunyi. Itulah sebabnya, dakwah dalam arti yang luas mempunyai posisi sentral dalam syiar dan pengembangan Islam, bahkan dakwah merupakan merupakan watak, sekaligus ciri khas dari Islam sendiri.[2]
Pernyataan di atas, mengindikasikan bahwa dakwah pada dasarnya adalah suatu proses yang berkesinambungan berupa aktifitas-aktifias dinamis dalam rangka mengaktualisasikan seluruh ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, aktifitas dakwah harus dikemas secara profesional dan diorganisir secara rapih, serta dikembangkan terus menerus menerus mengikuti irama dan dinamika zaman. Hal ini penting karena dakwah merupakan instrumen terpenting dalam memformat perilaku keberagamaan masyarakat.
Suatu hal menggembirakan dewasa ini adalah walaupun zaman semakin modern, rupanya aktifitas dakwah senantiasa berjalan dengan baik. Minimal sekali kegiatan dakwah terlihat dalam bentuk khutbah-khutbah, pengajian majelis-majelis taklim, ceramah-ceramah agama pada moment tertentu seperti kematian, perkawinan, aqidah, hajatan haji, naik rumah baru dan sebagainya.
Dalam skala luas, terlihat aktifitas dakwah terealisasi di berbagai tempat, baik di rumah-rumah penduduk, baik di kantor-kantor pemerintah maupun di perusahaaan-perusahaan swasta, baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil, bahkan sampai di kecamatan-kecamatan dan di desa-desa terpencil.
PEMBAHASAN
Dakwah merupakan sebuah terminologi yang diambil dari Al-Qur’an. Ada banyak ayat yang menyebutkan kata dakwah beserta deviriasinya yaitu sebanyak 198 kali, tersebar dalam 55 surat dan bertempat dalam 176 ayat. Ayat-ayat tersebut sebagian besar turun di Makkah yaitu 141 ayat, 30 ayat turun di Madinah dan 5 ayat dipertentangkan antara Makkah dan Madinah sebagai tempat turunnya, karena ada perbedaan tentang tempat turunnya Surat al-Hajj (QS 22), yakni surat yang memuat kelima ayat tersebut[3]
Ditinjau dari segi etimologi, dakwah berasal dari bahasa arab dari kata ad-dal dan al-ain serta salah satu huruf mu’tal yang bermakna condongnya sesuatu kepadamu dengan suara atau ucapan.[4] Dalam ilmu tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk isim masdar. Kata ini berasal dari fi’il (kata kerja) “da’a-yad’u” artinya memanggil, mengajak atau menyeru.[5] Jadi dakwah menurut arti kebahasaan adalah seruan kepada jalan yang benar. Orang yang menyeru, memanggil atau melaksanakan dakwah dinamakan da’i atau juru dakwah dalam istilah keseharian.
Sedangkan dakwah menurut terminologi mempunyai beragam makna dan pendapat tentang hal itu, diantaranya adalah dakwah menurut Hasjmy ialah setiap usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak, sesuai dengan kehendak dan tuntutan kebenaran.[6] Pendapat ini dapat dikatakan dakwah bukan hanya milik suatu komunitas agama tetapi milik suatu komunitas yang ada untuk menciptakan kehidupan yang damai.
Menurut Harifuddin Cawidu sebagaimana yang dikutip oleh Khusniati Rofiah, secara clasik rumusan dakwah bila merujuk kepada Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 104
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
“ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS.Al-Imran: 104) [7]
Pada ayat diatas bisa didefinisikan sebagai upaya mengajak atau menyeru manusia kepada kebaikan dan kebenaran serta mencegah dari kekejihan, kemunkaran dan kebatilan untuk mencapai keselamatan, kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara secara substansial dakwah pada dasarnya adalah suatu proses yang berkesinambungan berupa aktifitas-aktifitas dinamis yang mengarah kepada perbaikan, pembinaan dan pembentukan masyarakat yang bahagia (munflihun) melalui ajakan yang kontinyu kepada kebaikan (al-da’wah ila al-khayr) dan ma’ruf (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah manusia dari hal-hal yang munkar (al-nahyu anil-munkar) dalam arti yang seluas-luasnya.[8]
Sementara itu menurut A. Rosyad Shaleh dakwah adalah usaha merealisasikan ajaran Islam didalam kenyataan hidup sehari-hari, baik bagi kehidupan seseorang maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat manusia untuk memperoleh keridhaan Allah swt.[9] Oleh karena itu Islam dianggap sebagai suatu etika akhlak yang harus direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Sedangkan menurut penulis, definisi dakwah Islam adalah mengajak umat manusia mematuhi perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya dengan jalan yang baik dan bijaksana untuk mendapatkan hidup yang lebih baik serta mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam berdakwah tentunya mempunya berbagai macam tujuan, karena segala sesuatu yang tanpa tujuan adalah sia-sia belaka. Khusniati Rofiah tujuan dakwah adalah mengubah masyarakat sasaran dakwah kearah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, lahiriah maupun batiniah.[10] Dari sudut pandang ini, urgensi dakwah adalah sebagai cara atau jalan untuk memberikan pemahaman kepada umat tentang makna agama dan mengajak mereka mengamalkannya, dengan cara-cara proporsional dan metodis.
Oleh karena itu dalam kehidupan setiap muslim,aktivitas berdakwah merupakan suatu kewajiban utama. Dakwah memiliki bentuk yang beraneka macam mulai dari berjihad dimedan perang, menyampaikan amar makruf nahi mungkar, memberikan nasehat, hingga menyingkirkan duri dari jalan atau bahkan hanya memberikan senyuman. Dalam hal ini Islam tidak mewajibkan umat Islam untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi yang diwajibkan adalah usaha atau iktiar yang maksimal.[11]
A. UNSUR-UNSUR DALAM PROSES BERDAKWAH
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal tersebut diperlukan dukungan dari komponen-komponen atau unsur-unsur dakwah, yang dimaksud unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang selalu ada dalam setiap kegiatan dakwah, yang mana unsur-unsur itu saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksudnya suatu rangkaian kegiatan yang sambung menyambung dan saling berkaitan serta menjelmakan urutan yang masuk akal dan tetap terikat pada ikatan hubungan pada kegiatan masing-masing dalam rangkaian secara menyeluruh.[12]
Secara keilmuan[13], dakwah memiliki lima unsur yang berkembang selama ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Subyek Dakwah (Komunikator/ Da’i)
Subyek dakwah adalah unsur terpenting dalam pelaksanaan dakwah. Subyek dakwah ini adalah setiap kaum muslimin tanpa kecuali sesuai dengan batas kemampuannya. Subyek dakwah dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk baik itu berceramah, berpidato, berdialog dan sebagainya tergantung kapasitas yang dimilikinya.[14]
Sebagai subyek dakwah atau pelaku dakwah seorang da’i harus memiliki keahlian dan kapasitas keilmuan, metode dan strategi dakwah agar mampu memotivasi dan menggerakkan hati orang lain untuk beriman. Karena itu pelaksanaan dakwah tersebut sangat diperlukan memiliki prasarat-prasarat tertentu untuk dapat menjadi juru penerang yang baik.
Untuk menjadi seorang pelaksana dakwah atau juru dakwah menurut Mahmud Yunus sebagaimana yang dikutip oleh Khusniati Rofiah seorang juru dakwah harus menguasai ilmu-ilmu sosial, sejarah umum, ilmu jiwa sosial, ilmu bumi, ilmu ahklak, teori dan praktek, ilmu perbandingan agama dan aliran-aliran serta bahasa (bahasa umat yang didakwahi)[15]sementara itu menurut Masdar Helmi sebagaimana yang dikutip oleh Dawam Raharjo seorang juru dakwah harus memiliki pandangan jauh kedepan, wawasan yang luas dan nalar yang kuat, selain itu juga harus memiliki kecerdasan dan ilmu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak dimiliki oleh masyarakat penerima dakwah.[16]Dalam hal ini, Datok Tombak Alam sebagaimana yang dikutip Khusniati Rafiah menggaris bawahi beberapa sifat yang penting dimiliki seorang da’i, sifat itu digali dan diambil dari sifat-sifat Nabi SAW, sebagai da’i yang paling sukses di dunia. Nabi Muhammad sebelum ditugaskan berdakwah lebih dahulu membina pribadinya dengan sifat-sifat :
a. Shidiq: benar dalam berkata, berbuat dengan niat hatinya
b. Fathanah: lurus dan jujur lahir batin
c. Tabligh: mampu menyampaikan amal dakwah dengan lisan dan perbuatan.[17]
Dari uraian diatas Muhammad Zamroji menambahi beberapa sifat-sifat yang harus dimiliki oleh da’i atau pelaku dakwah adalah sebagai berikut :
a. Iman dan Taqwa kepada Allah SWT
b. Tulus Ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi
c. Murah hati, dermawan dan ramah
d. Tawadlu’ (rendah hati)
e. Jujur (Shiddiq)
f. Tidak memiliki sifat ujub (sombong dan egois)
g. Sifat antusias (semangat dan bersegera)
h. Punya semangat berdakwah.[18]
Amin Akhsan Ishlahi menambahi beberapa hal tentang syarat-syarat menjadi da’i yang baik adalah sebagai berikut :
a. Bersifat tulus dan Ikhlas dalam menyampaikan ajaran Islam serta meyakini kebenaran yang telah disampaikan
b. Tidak cukup bil-lisan dalam menyebarkan agama tetapi perlu adanya perwujudan tingkah laku, karena dasar Islam bukan sekedar hafalan, tetapi keduanya harus diwujudkan
c. Harus memberikan kesaksian pada agama yang diyakini secara tegas
d. Tidak boleh memihak golongan tertentu
e. Harus rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi kepentingan syiar agama Islam.[19]
2. Mad’u (Obyek atau Mitra Dakwah)
Mad’u atau penerima dakwah adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang bergama islam maupun yang belum Islam.[20] Semua menjadi objek dari kegiatan dakwah ini, semua berhak menerima ajakan seruan ke jalan Allah swt.
Hamzah Yakub sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Zamroji membagi beberapa kelompok obyek dakwah dari berbagai sudut pandang, diantaranya :
a. Umat yang berfikir kritis. Mereka yang tergolong didalamnya adalah orang-orang yang berpendidikan dan berpengalaman. Orang-orang pada level ini hanya dapat dipengaruhi jika pikirannya mampu menerima dengan baik. Dengan kata lain berhadapan dengan kelompok ini, harus mampu menyuguhkan dakwah dengan gaya dan bahasa yang dapat diterima oleh akal sehat sehingg mau menerima kebenarannya.
b. Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah untuk dipengaruhi oleh paham baru (suggestible) tampa menimbang-nimbang secara matang apa yang dikemukakan kepadanya.
c. Umat yang bertaklid,yakni golongan masyarakat yang fanatik buta bila berpegangan pada tradisi dan kebiasaan yang turun temurun.[21]
Dalam bukunya Masdar Helmy objek dakwah digolongkan dari berbagai sudut pandang, diantaranya :
a. Jenis Kelamin, yaitu manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan
b. Umur Manusia, yaitu terdiri dari anak-anak, pemuda dan orang tua
c. Pendidikan Masyarakat, yaitu yang berpendidikan tinggi dan yang berpendidikan rendah
d. Tugas pekerjaan, yaitu masyarakat yang terdiri dari petani, pegawai, pedagang, perawat dan seniman
e. Ekonomi Masyarakat, yaitu terdiri dari orang kaya, orang miskin dan menengah.[22]
Sedangkan menurut Khusniati Rofiah, objek dakwah digolongkan berdasarkan responsi mereka ada 4 :
a. Golongan simpatik aktif, yaitu mad’u (objek dakwah) yang menaruh simpati dan secara aktif memberi dukungan moril dan materiil terhadap kesuksesan dakawah
b. Golongan simpatik pasif, yaitu mad’u (objek dakwah/ penerima dakwah) yang menaruh simpati tetapi tidak aktif memberikan dukungan terhadap kesuksesan dakwah, dan juga tidak merintangi dakwah
c. Golongan pasif, yaitu mad’u (penerima dakwah) yang masa bodoh terhadap dakwah, tetapi tidak merintangi dakwah
d. Golongan antipati, yaitu mad’u (penerima dakwah) yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksanya dakwah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk merintangi atau meninggalkan dakwah[23]
Maka dari itu, ada beberapa hal yang harus direkam dalam ingatan si pembawa dakwah (da’i), bahwa :
1. Harus menguasai isi dari materi dakwah yang hendak disampaikan serta memahami inti dan maksud yang terkandung didalamnya
2. Harus dapat menilai corak atau golongan apakah yang akan dihadapi sehingga dirinya bisa merasakan keadaan dan suasana, waktu dan tempat ia menyampaikan dakwah.
3. Harus dapat memilih metode dan kata-kata yang tepat setelah memahami semua itu.[24]
3. Metode Dakwah
Dalam melaksanakan suatu kegiatan dakwah diperlukan metode penyampaian yang tepat agar tujuan dakwah tercapai. Karena hakikatnya metode merupakan pedoman pokok yang mula-mula harus dijadikan bahan pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaanya. Selain itu, dengan memahami hakikatnya, pemakai metode tidak mudah secepatnya memuja terhadap suatu metode tertentu karena keberhasilannya. Atau sebaliknya, tidak akan tergesa-gesa menyisihkan suatu metode gara-gara kegagalannya.[25]
Tujuan diadakan metodologi dakwah adalah untuk memberikan kemudahan dan keserasian, baik bagi pembawa dakwah maupun bagi penerimanya. Pengalaman membuktikan, metode yang kurang tepat mengakibatkan gagalnya aktivitas dakwah. Sebaliknya, terkadang permasalahan yang sering dikemukakan pun, bila diramu dengan metode yang tepat , dengan gaya penyampaian yang baik, serta ditambah aksi retorika (berpidato) yang mumpuni, maka respon yang didapat pun cukup memuaskan. Suatu dakwah dapat berhasil, bila ditunjang dengan seperangkat syarat, baik dari pribadi juru dakwah, materi yang dikemukakan, kondisi objek yang sedang didakwahi, ataupun elemen-elemen penting lainnya. [26]
Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang mengungkap masalah dakwah, namun dari sekian banyak ayat yang memuat prinsip-prinsip dakwah itu ada satu ayat yang memuat sandaran dasar dan fundamen pokok bagi metode dakwah, yaitu : QS. An Nahl (16) : 125
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”[27]
Dari ayat diatas ada tiga metode dakwah yang ditawarkan kepada Nabi Muhammad SAW yaitu bi al-hikmah (Kebijaksanaan), maw’idhah al-hasanah (tutur kata yang baik), dan mujahadah al-lati hiya ahsan (melalui tukar pikiran, diskusi, debat dan lain sebagainya)[28]
Tiga macam metode dakwah pada ayat diatas dipahami sebagian ulama yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah, yaitu :
a. Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
b. Terhadap kaum awam, diperintah untuk menerapkan mau’izhah, yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai denga taraf pengetahuan mereka yang sederhana
c. Sedang degan ahlul kitab dan penganut agama-agama lain, yang diperintahkan adalah jidaal atau perdebatan dengan cara yang baik, yaitu dengan logika dan retorika (berpidato) yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.[29]
Menurut Asmuni Syukir dengan mendasarkan pandangannya pada ayat yang telah disebutkan diatas, menyebutkan delapan metode dakwah yang bisa dipakai :
a. Metode ceramah (retorika dakwah). Metode ini banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara seorang da’i pada suatu aktivitas dakwah. Metode ini akan sangat efektif bila objek dakwahnya berjumlah banyak, da’inya ahli ceramah, dan cocok untuk dakwah dalam acara-acara seperti waliimatul ‘arusy.
b. Metode tanya jawab. Metode tanya jawab adalah metode penyampaian materi materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (objek dakwah) untuk menyatakan suatu masalah yang belum dimengerti dan da’i berfungsi sebagai penawabnya. Metode ini dimaksudkan untuk melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan. Metode ini cocok tidak hanya dilaksanakan di masjid semata, tetapi juga cocokmelalui media radio, televisi maupun surat kabar.
c. Metode mujaadalah (debat). Yang dimaksud adalah mujaadalah yang baik, adu argumen, namun tidak ngotot sampai menimbulkan pertengkaran. Metode ini dimaksudkan untuk menjelaskan kebenaran Islam bagi sasaran dakwah yang membantah kebenaran Islam. Metode ini harus ditekankan agar tidak menjadi laknat, sebaliknya diorentasikan untuk terwujudnya rahmat bagi kedua belah pihak yang berdebat.
d. Percakapan antar pribadi. Metode ini bertujuan menggunakan kesempatan yang baik dalam percakapan bebas antara da’i dengan pribadi-pribadi yang menjadi sasaran dakwah. Metode ini menuntut kemampuan para da’i dalam mengarahkan pembicaraan
e. Metode Demontrasi. Metode ini adalah berdakwah dengan memperlihakan contoh, baik berupa benda, peristiwa, perbuatan dan sebagainya
f. Metode dakwah Rasulullah saw. Dalam menyebarkan ajaran Islam, Rasulullah menggunakan beberapa metode. Seperti dakwah dibawah tanah, dakwah secara terang-terangan, politik pemerintah, surat menyurat dan sebagainya
g. Metode pendidikan dan pengajaran. Dalam definisi dakwah terdapat makna yang bersifat pembinaan, juga terdapat makna pengembangan
h. Metode Silaturahmi. Metode ini digunakan oleh para juru penerang agama. Metode home visit (silaturahmi) ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu atas undangan tuan rumah dan atas inisiatif pribadi da’i.[30]
Sedangkan menurut Mamzah Ya’kub menyatakan bahwa metode dakwah menurut bentuk penyampaianya, dapat dibagi menjadi lima kelompok besar, yaitu :
a. Lisan, termasuk dalam bentuk ini adalah Khutbah, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah, nasehat, pidato-pidato radio, ramah tamah dalam anjangasana, obrolan.
b. Tulisan, termasuk dalam bentuk ini adalah buku-buku, majalah-majalah, surat-surat kabar, bulletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamflet, pengumuman-pengumuman tertulis, spanduk-spanduk.
c. Lukisan, yakni gambar-gambar dalam seni lukis, foto, komik-komik bergambar
d. Audio Visual, yaitu suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran, seperti sandiwara, ketoprak wayang.
e. Ahklak, yakni suatu cara penyampaian langsung ditujukan dalam bentuk perbuatan yang nyata, umpamanya menziarahi orang sakit, kunjungan kerumah bersilaturahmi, pemangunan masjid dan sekolah, poliklinik, kebersihan, pertanian, peternakan dan sebagainya.[31]
4. Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan (message) yang dibawakan oleh subyek dakwah untuk diberikan atau disampaikan kepada objek dakwah. Materi dakwah yang biasa disebut juga dengan ideologi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.[32]Berpijak dari hal diatas,maka da’i sebagai subyek (pelaku) dakwah perlu mempersiapkan materi dakwahnya dengan mendalami isi Al-Qur’an yang mencakup ibadah, aqidah, syari’ah dan mu’amalah yang meliputi seluruh aspek kehidupan didunia ini baik yang berkaitan dengan kehidupan duniawi maupun ukhrawi.[33]
5. Media Dakwah
Istilah media bila dilihat dari asal katanya (etimologi), berasal dari bahasa latin , yaitu median, yang berarti alat perantara. Sedangkan kata media merupakan jamak dari kata median tersebut. Pengertian sempatiknya media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan[34]
Menurut Hamzah Ya’qub, yang dimaksud media dakwah ialahalat objektif yang menjadi saluran yang menghubungkan ide dengan umat.Sungguh, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam total dakwah.[35]
Masdar Helmy dalam bukunya Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Mubalig membagi media dakwah menjadi empat bagian, yaitu :
a. Media cetak yang meliputi media massa, surat kabar, majalah, tabloid dan buletin
b. Media visual seperti media yang dapat dilihat seperti lukisan, video, foto, VCD
c. Media audiktif, yaitu media yang dapat didengar seperti radio, rekaman, tape recorder
d. Media pertemuan yaitu segala macam pertemuan seperti halal bihalal, rapat, kongres, konferensi dan sebagainya.[36]
B. DAKWAH PESANTREN SALAF
Pada era sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat dakwah pesantren atau pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok kemungkinan berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya penginapan atau asrama.
Sedangkan kata pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier menyebutkan, pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Menurut John sebagaimana yang dikutip Dhofier mengatakan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji,[37]tidak jauh beda dengan John, Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shantri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shantri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari asal-usul kata santri pula banyak sarjana berpendapat bahwa lembaga pesantren pada dasarnya ialah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa penganut agama Hindu Buddha yang bernama “mandala” yang di Islamkan oleh para kyai.[38]
Terlepas dari asal-usul sebagaimana tersebut diatas, yang jelas ciri-ciri pesantren secara keseluruhan adalah sebuah lembaga dakwah atau pendidikan Islam yang Asli Indonesia, yang saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang. Bahkan pada saat memasuki milennium ke tiga ini menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.
Sistem pengajaran atau dakwahnya pesantren pada masa itu menggunakan sistem sorogan, bandongan dan wetonan. Sorogan adalah metode belajar dengan santri satu per satu maju menghadap kyai atau ustadz untuk membacakan suatu kitab tertentu, kyai atau ustadz menyimak dan membetulkan jika ada kesalahan dalam membacanya.[39] Adapun Bandongan adalah metode belajar dengan kyai atau ustadz membacakan kitab beserta maknanya dalam bahasa daerah (Jawa) sedangkan para santri menyimak sambil menuliskan makna yang belum diketahuinya.[40] Tidak ada persyaratan khusus siapa saja yang boleh ikut mengaji atau belajar juga tidak ada ujian atau kenaikan kelas karena memang tidak ada kelas. Sedangkan Wetonan adalah metode belajar dengan kyai atau ustadz membacakan kitab hanya dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada bulan Ramadhan.[41] Dalam prakteknya wetonan tidak ada perbedaan dengan bandongan. Ketiga sistem pengajaran ini masih dipertahankan oleh hampir semua pesantren, meski ada sistem klasikal (ada jenjang kelas), kecuali pesantren modern yang lebih menerapkan metode klasikal
C. PROBLEMATIKA DAKWAH PESANTREN SALAF DI PERKOTAAN
Pesantren Salaf atau Pondok Pesantren yang masih ada saat ini pada umumnya adalah sebuah pesantren yang masih tetap mempertahankan, merawat dan melestarikan berbagai tradisi yang baik dan yang sudah melekat sejak dulu, diantara tradisi tersebut adalah Tahlilan, Sholawatan Barzanji / Diba’an, Dzikir bersama-sama (jama’ah), Istighotsah, dan lain sebagainya. Tahlilan berasal dari kata Tahlil yang artinya mengucapkan kalimat Lailahailla Allah, sedangkan Tahlilan artinya bersama-sama melakukan doa bagi orang (keluarga, teman dsb) yang sudah meninggal dunia semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT, yang sebelum doa dibacakan beberapa kalimah thayyibah (Kalimat-kalimat yang bagus yang agung), berwujud hamdalah, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci Al-Qur’an dan tidak ketinggalan Hailalah (tahlil), yang kemudian dominan menjadi nama dari kegiatan itu seluruhnya, menjadi tahlil atau tahlilan.[42]
Selain kegiatan sebagaimana yang tersebut diatas kegiatan dakwah Pondok Pesantren Salaf diantaranya melalui Ceramah Agama, Kutbah Jum’at, Kutbah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Pengajian Kuliah Subuh selama bulan Ramadhan, Pengakajian Kitab Kuning, Khataman Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Aktivitas dakwah sebagaimana tersebut diatas merupakan jalan untuk mengajak manusia kepada jalan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan tentu saja didalam perjalanannya akan selalu mendapatkan tantangan dan hambatan, akan tetapi disitulah letak jihad yang sesungguhnya, siapa yang bertahan akan sahid dan siapa yang putus asa akan tenggelam
Problematika merupakan hal-hal yang timbul dan tidak sesuai dengan yang diharapkan serta dikehendaki oleh lembaga maupun perorangan, tidak terkecuali pesantren. Problem yang dialami oleh para pelaku dakwah di Pesantren Salaf di wilayah perkotaan ada banyak hal, baik dilihat dari sisi ustadnya (subjek), santri dan masyarakat dilingkungan pesantren (objek), materi, metode, serta sarana dan prasarananya, dibawah ini penulis akan memberikan sedikit gambaran yang menghambat perkembangan dakwah Pesantren Salaf di wilayah perkotaan.
Dari berbagai hasil pengamatan dan dari beberapa referensi yang didapat penulis ada banyak hal yang menghambat atau yang menjadi problem dalam dakwak diantaranya adalah faktor keberagaman masyarakat baik dari status sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya yang notabene semua adalah pekerja maupun wirausahawan sehingga tingkat aktifitas kesibukannya tinggi baik Subyek dakwah maupun objek dakwahnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rosyad Shaleh. 1977. Management Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Amin Akhsan Ishlahi. 1985. Metode Dakwah Menuju Jalan Allah. Jakarta: Litera Antara Nusa
Asmuni Syukur. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: al-iklas
David Kaplan dan Albert A Manners. 1999. Teori Budaya. Terjemahan Landung Simatlupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dawam Raharjo. 1999. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim. Bandung, Mizan
Depag RI. 1993. Al Qur’an dan terjemahannya. Semarang: CV. Alwaah
Dr.H.Awaludin Pimay. 2006. Metodologi Dakwah Kajian Teoritis dari Khazanah Al-Qur’an. Semarang: RaSAIL
Endang Turmudi.2003. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan.Yogyakarta: PT.Lkis
Fathul Bahri An Nabiry. 2008. Meniti Jalan Dakwah. Jakarta: Sinar Grafika Offset
H. Harifuddin Cawidu, Problematika Dakwah di Indonesia Masa Kini, di ambil dari website UIN Alauddin Makassar http://www.uin-alauddin.ac.id
H. Harifuddin Cawidu. Problematika Dakwah di Indonesia Masa Kini, http://www.uin-alauddin.ac.id/), diakses 7 November 2014.
Hamzah Ya’qub. 1981. Publistik Islam: Teknik Dakwah dan Leadership. Bandung, CV. Diponegogoro
Heri Setiawan, “Problematika Dakwah Islam Pesantren Rakyat Ar-Ridho Dukuh Sidowayah Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo”, Skripsi Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo 2013
Heri Setiawan. 2013. Problematika Dakwah Islam Pesantren Rakyat Ar-Ridho Dukuh Sidowayah Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Skripsi tidak diterbitkan. Ponorogo:Insuri Ponorogo.
Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah. 1994. Mu’jam al-mahabis al-lughoh. Baerut: Dar al-Fikr
KH. Muhyidin Abdusshomad. 2009. Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah. Surabaya: Khalista
Khusniati Rofiah. 2010. Dakwah Jamaah Tabligh dan Eksistensinya di Mata masyarakat. Ponorogo: STAIN Press
Lexy, J. Moleong. 1995. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
M. Solahudin. 2013. Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura. Kediri: NOUS Pustaka Utama
Masdar Helmy. 1976. Dakwah dan pembangunan. Jakarta: Wijaya
Muh Fajar Pramono. 2006. Raden Bhatoro karong -e Wong Ponorogo. Ponorogo LP2BM
Muhammad Zamroji. 2012. Manhaj Dakwah Insan Pesantren, Dasar dan Panduan Praktis Strategi Pengembangan Dakwah Islamiyah. Kediri: Kalam Press
Nasaruddin Razak. 1976. Metodologi Dakwah. Semarang . Toha Putra
Nurudin “Problematika Dakwah Islam Masjid Al-Ikhsan Desa Bangun Harjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul”. Skripsi , UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007 http://digilib.uin-suka.ac.id
Nurudin. Problematika Dakwah Islam Masjid Al-Ikhsan Desa Bangun Harjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, (Online), (http://digilib.uin-suka.ac.id/), diakses 12 Januari 2015.
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
Pradjarta Dirdjosanjoto.1999. Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LkiS
Rusti Hidayah, “Problematika Dakwah Islamiyah pada Masyarakat di Desa Karangmojo Kecamatan Weru Kaupaten Sukoharjo”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1998 http://digilib.uin-suka.ac.id
Rusti Hidayah, Problematika Dakwah Islamiyah pada Masyarakat di Desa Karangmojo Kecamatan Weru Kaupaten Sukoharjo, http://digilib.uin-suka.ac.id/ (diakses 12 Januari 2015).
Sanapiah Faisal. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Soemarto.2014. Menelusuri Perjalanan Reyog Ponorogo. Ponorogo: CV.Kota Reog Media
Sofian Effendi. 1995. Metode Peneltian Survai(Cet. II). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Suharsimi Arikunto.1998. Prosedur Penelitian: Sutu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Sutrisno Hadi. 1990. Metodologi Research I . Jakarta: Andi Offet
Vardiansyah dan Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks
Winarno Surachmad. 1978. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito
Zamakhsyari Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenani Masa [1] Kasus-kasus yang penulis kemukakan di atas, meskipun bukan merupakan hasil penelitian tetapi kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan karena berangkat dari pengamatan langsung penulis, serta diperkuat dengan informasi-informasi melalui media massa dan elektronik yang dewasa ini sering mengankat kasus-kasus krusial serupa.
[2] H. Harifuddin Cawidu, “Problematika Dakwah di Indonesia Masa Kini”, http://www.uin-alauddin.ac.id/ (diakses 7 November 2014).
[3] Khusniati Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh dan Eksistensinya di Mata Masyarakat, (Ponorogo, STAIN Press. 2010), 15.
[4] Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Mu’jam al-mahabis al-lughoh (Baerut: Dar al-Fikr, 1994), 350.
[5] Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Iklas, 1983), 17.
[6] Ibid,20
[7] Al Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 93
[8] Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh…, 23
[9] A. Rosyad Shaleh, Management Dakwah Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 74
[10] Khusniati Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh dan Eksistensinya di Mata Masyarakat (Ponorogo : STAIN Press, 2010), 26
[11] Yunus Hanis Syan, Manajemen Dakwah, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 10
[12] Nasaruddin Razak. Metodologi Dakwah. (Semarang . Toha Putra. 1976), 52
[13] Ilmu dakwah adalah ilmu yang membahas bentuk-bentuk penyampaian ajaran Islam kepada seseorang atau sekelompok orang terutama mengenai bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia agar mereka menerima dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (sempurna), lihat Muhammad Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren,(Kediri, Kalam Santri Press.2012), 19
[14] Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh…, 35
[15] Ibid, 36
[16] Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Cendekiawan Muslim, (Bandung, Mizan, 1999), 382
[17] Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh…, 37
[18] Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren…, 43
[19] Amin Akhsan Ishlahi, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, (Jakarta: Litera Antara Nusa, 1985), 19-23
[20] Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh…, 37
[21] Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren…, 77
[22] Masdar Helmy, Dakwah dan pembangunan,(Jakarta: Wijaya, 1976), 59-61
[23] Rofiah,Dakwah Jamaah Tabligh…, 37-38
[24] Fathul Bahri An Nabiry, Meniti Jalan Dakwah (Jakarta: Sinar Grafika Offset 2008),231
[25] Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), 100
[26] Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren…, 100
[27] Al Quran dan Terjemahnnya, Depag RI, 421
[28] Yunus dan Muafi, Manajeman Dakwah Dengan Tulisan, 53
[29] Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren…, 102
[30] Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah…, 100
[31] Hamzah Ya’kub, Publistik Islam: teknik Dakwah dan Leadership (Bandung, CV. Diponegoro1980), 47-48
[32] Zamroji, Manhaj Dakwah Insan Pesantren…, 87
[33] Rofiah, Dakwah Jamaah Tabligh…, 26
[34] Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam…, 163
[35] Ya’qub, Publistik Islam: Teknik Dakwah…, 236
[36] Helmy, Problematika Dakwah Islam…, 19-22
[37] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenani Masa Depan Idonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), 41
[38] Ibid
[39] M. Solahudin, Napak Tilas Masyayikh Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura, (Kediri: NOUS Pustaka Utama, 2013), viii
[40] Ibid
[41] Ibid, ix
[42] KH. Muhyidin Abdusshomad, Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Surabaya: Khalista, 2009), xiii
0 Response to "Problematika Dakwah Islam Pesantren Salaf di Perkotaan"
Posting Komentar